Monday, June 18, 2012

[ASP] OTONOMI DAERAH



11.1. OTONOMI DAERAH
11.1.1. Konsep Otonomi Daerah
Konsep Menurut Rondonelli (1983), B.S. Smith (1985), dan Mills (1982)
Rondinelli dalam CHEMA dan Rondonelli (1983) mendefinisikan desentralisasi sebagai perpindahan kewenangan atau pembagian kekuasaan dalam perencanaan pemerintahan, manajemen, dan pengambilan keputusan dari tingkat nasional ke tingkat daerah. Desentralisasi dimaknai sebagai kepemilikan kekuasaan untuk menentukan nasib sendiri dan mengelolanya untuk mencapai tujuan yang telah disepakati bersama. Konsep desentralisasi dan kekuasaan yang dikemukakan oleh B.S. Smith (1985) yakni sebagai pola hubungan kekuasaan diberbagai tingkat Pemerintahan. Dengan kata lain salah satu makna yang melekat dalam otonomi daerah adalah pembagian kekuasaan diantara berbagai level Pemerintahan.
Dalam prekteknya, pemahaman desentralisasi sangat bervariasi. Warga didaerah pada umumnya memahami prinsip-prinsip otonomi daerah dengan interpretasi yang berbeda-beda.

Ragam pemahaman konsep otonomi daerah sangat bergantung pada kemajuan implementasi desentralisasi itu sendiri. Kemajuan penerapan konsep desentralisasi sangat terkait dengan kemajuan pembangunan ekonomi dan pengalaman praktik-praktik demokrasi dari negara tersebut. Kemajuan pembangunan ekonomi tidak lepas dari sistem pemerintahan yang sangat sentralistis. Oleh karena itu, banyak pemerintah Kabupaten/kota berharap menguasai Sumber Daya potensial yang menyumbang pada pendapatan daerah.
Variasi pemahaman otonomi daerah terkait dengan pemaknaan terhadap asal usul otonomi daerah. Otonomi daerah adalah hak yang dimiliki dan melekat sejak berdirinya Daerah tersebut. Dengan kata lain, otonomi daerah adalah pemberian pemerintah daerah pusat melalui asas desentralisasi. Paham terakhir inilah yang sering dikaitkan dengan konsep keutuhan Negara Republik Indonesia.
Desentralisasi selalu dimaknai sebagai distribusi sumber daya dari pusat kepada daerah. Mills dalam Lee and Mills (1982) menyatakan bahwa desentralisasi memiliki tujuan politik yang penting, baik secara filosofi maupun ideologis. Alasannya adalah bahwa partisipasi masyarakat dan kemandirian daerah serta kecermatan pejabat publik dijamin dalam praktik pelayanan kepada masyarakatnya. Pada tingkat pragmatis, desentralisasi dianggap sebagai cara untuk mengatasi berbagai hambatan kelembagaan, fisik dan administratif dalam melaksanakan tugas-tugas pembangunan.
Otonomi Daerah dan Konsep Desentralisasi
Konsep desentralisasi di Indonesia tidak pernah merujuk pada perspektif desentralisasi politik, tetapi lebih pada perspektif desentralisasi administrasi. Kebijakan desentralisasi di Indonesia ditujukan untuk mempercepat proses domokratisasi di tingkat lokal. Namun kenyataannya, kewenangan kedaerah sangat di batasi dan pada saat yang sama pengendalian pemerintah pusat atas pemerintah daerah juga dipertahankan sangat ketat.
Administrative decentralization, mendefinisikan desentralisasi sebagai penyerahan wewenang (bukan kekuasaan) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Tujuan utama kebijakan desentralisasi di titikberatkan untuk menciptakan efisiensidan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Akibatnya, aplikasi kebijakan desentralisasi di Indonesia selama ini telah terpisah dari agenda demokratisasi.
Reformulasi Desentralisasi
Permasalahan hubungan kekuasaan/daerah tidak dapat diselesaikan hanya dengan pendekatan administrasi, tetapi juga dengan penyelesaian secara politik. Artikulasi pelaksanaan otonomi daerah merupakan “Kewajiban” bukan “Hak”. Reformulasi konsep desentralisasi itu sendiri dari administratif decentralization menuju political decentralization. Pada tataran perundang-undangan, salah satu implikasinya adalah peninjauan kembali pemberlakuan UU No. 22 dan 23 Tahun 1999. Dua produk perundang-undangan ini diwarnai ide dasar perspektif desentralisasi administrasi. Lebih jauh, amandemen pasal 18 UUD 1945 juga perlu dilakukan.
Pada tingkat operasional, implikasi reformasi konsep desentralisasi alternatif kedua tersebut tidak sampai pada peninjauan kembali UU No.22 dan 25 Tahun 1999, namun lebih pada metode pelaksanaannya. Dimasa mendatang, peran utama dalam menentukan jumlah maupun ruang lingkup wewenang harus sudah diserahkan kepada Pemerintah Daerah.
Otonomi Daerah : Pembagian Kekuasaan Antara Pusat dan Daerah
Pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dilakukan berdasarkan prinsip negara kesatuan dengan semangat federalisme. Otonomi daerah yang diserahkan bersifat luas, nyata, dan bertanggung jawab. Luas, kewenangan residu justru berada di pusat; nyata, kewenangan yang diselenggaraan itu menyangkut kebutuhan untuk bertahan dan berkembang disuatu daerah; dan bertanggung jawab, kewenangan yang diserahkan itu harus diselenggarakan dalam konteks tujuan otomoni daerah. Kewenangan yang diserahkan kepada daerah otonom dalam rangka desentralisasi, harus disertai penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta Sumber daya Manusia.
Kewenangan yang ditangani Pemerintah Provinsi mencakup kewenangan desentralisasi dan dekonsentrasi. Sementara itu, kewenangan yang diserahkan kepada Daerah Otonom Provinsi mencakup:
a.       Kewenangan yang bersifat lintas kabupaten dan kota, seperti kewenangan dalam bidang pekerjaan umum, perhubungan, kehutanan, dan perkebunan;
b.      Kewenangan pemerintahan lainnya, yaitu perencanaan dan pengendalian pembangunan regional secara makro, pelatihan bidang alokasi sumber daya manusia potensial, penelitian yang mencakup wilayah provinsi, dan lain-lain;
c.       Kewenangan kelautan, seperti eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut, dan lain-lain.
d.      Kewenangan yang tidak atau belum dapat ditangani daerah kabupaten atau kota akan diserahkan ke Pemerintahan Provinsi.
Kriteria yang digunakan dalam menentukan jenis kewenangan yang diserahkan kepada daerah otonom provinsi lebih didasarkan kepada kriteria efisiensi daripada kriteria polotik. Jenis kewenangan yang dipandang lebih efisien akan diselenggarakan pemerintahan provinsi, dengan pengecualian daerah istimewa dan otonomi khusus.
Desentralisasi kekuasaan kepada daerah disusun berdasarkan pluralisme daerah otonom dan pluralisme otonomi daerah. Perbedaan daerah otonom provinsi terletak pada kekhususan atau keistimewaan daerah dan kemampuan menangani jenis kewenangan. Dalam rangka Negara kesatuan, pemerintah pusat masih memiliki kewenangan melakukan pengawasan terhadap daerah otonom.
11.1.2. Dasar Hukum Pelaksanaan Otonomi Daerah
Amandemen UUD 1945 menjadi acuan konstitusi dalam penetapan konsep dasar tentang kebijakan otonomi kepada daerah-daerah. Hal itu terlihat jelas dalam aturan mengenai Pemerintahan Daerah sebagaimana dalam Undang-undang berikut:
1.      UU No.1 Tahun 1945  - menitikberatkan pada dekonsentrasi;
2.      UU No.22 Tahun 1948 -  mulai menitikberatkan pada desentralisasi, terdapat dualisme peran kepala daerah;
3.      UU No. 1 Tahun 1957 – masih bersifat dualisme;
4.      Penetapan Presiden No.6 Tahun 1959 – lebih menekankan pada dekonsentrasi;
5.      UU No.18 Tahun 1965 – menitikberatkan pada desentralisasi dengan memberikan otonomi yang seluas-luasnya pada daerah, dekonsentrasi hanya sebagai pelengkap saja;
6.      UU No.5 Tahun 1974 – pembangunan menjadi isu sentral dibanding politik;
7.      UU No.22 Tahun 1999 – pemerintah daerah sebagai titik sentral dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan;
8.      UU No.32 Tahun 2004 (revisi UU No.22 Tahun 1999);
9.      UU No.33 Tahun 2004 (revisi UU No.25 Tahun 1999).
11.1.3. Asas-Asas Otonomi Daerah
1.      Asas Desentralisasi, adalah penyerahan wewenang Pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2.      Asas Dekonsentrasi, adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah dan/atau perangkat pusat di Daerah;
3.      Tugas pembantuan, adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan desa serta dari daerah ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu;
4.      Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
11.1.4. Ruang Lingkup Otonomi Daerah
Pembagian Kewenangan
Secara umum dibagi menjadi tiga:
1.      Kewenangan daerah, dapat digolongkan menjadi tiga:
a)      Kewenangan maksimum: seluruh bidang pemerintahan kecuali keewnangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.
b)      Kewenangan minim um: pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja.
c)      Kewenangan lainnya:
1)      Mengelola Sumber daya Nasional dan kelestarian lingkungan diwilayah lainnya;
2)      Kewenanga diwilayah laut: eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan lainnya;
3)      Kepegawaian daerah: kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, dan lainnya.

2.      Kewenangan Provinsi, meliputi:
a)      Kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas batas kabupaten dan kota, serta kewenangan dalam pemerintahan tertentu lainnya;
b)      Kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh daerah kabupaten atau daerah kota;
c)      Kewenangan dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur selaku wakil pemerintah;
d)     Kewenangan provinsi sebagai daerah otonom, secara lebih rinci diatur dalam PP No.25 Tahun 2000 yang dikenal dengan 20 kewenangan.

3.      Kewenangan Pemerintah (Pusat)
a)      Kewenangan umum: Politik dalam Negeri, Pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal;
b)      Kewenangan lainnya: menyangkut kebijakan perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, dan lainnya.
Legislatif
Beberapa hal penting menyangkut Perda dalam UU No.22 Tahun 1999 sebelum direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004, antara lain:
1.      Kepala Daerah menetapkan Perda atas persetujuan DPRD dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang labih tinggi;
2.      Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan daerah lain, dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
3.      Peraturan Daerah dapat memuat ketentuan tertentu tentang pembebanan biaya paksaan penegakan hukum;
4.      Peraturan Daerah dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 5.000.000,00 dengan atau tidak merampas barang tertentu untuk  daerah kecuali jika ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan.
Keuangan Daerah
Masalah yang sangat penting dalam kerangka otonomisasi daerah adalah menyangkut pembagian atau perimbangan pusat atau daerah. Otonomi yang diberikan kepada daerah meliputi empat aspek utama, yaitu: otonomi politik, otonomi hukum, otonomi ekonomi, dan otonomi budaya. Pemerintah bertindak sebagai integrator dan stabilizer.
11.1.5. Implikasi Otonomi Daerah Terhadap Politik, Hukum, Dan Ekonomi
Jika proses ekonomi berjalan dengan baik, maka diharapkan akan berimplikasi secara positif baik dibidang politik, hukum, dan ekonomi, sosial budaya. Antisipasi pelaksanaan otonomi daeerah memerlukan berbagai kesiapan, seperti:
1.      Perencanaan pembangunan daerah yang terarah, termasuk perencanaan dan penyusunan APBD.
2.      Perlu kesiapan SDM aparatur Pemda. Ini merupakan hal yang sangat mendesak karena menjadi unsur penting atas keberhasilan otonomi daerah
3.      Selain kesiapan SDM aparatur birokrasi daerah, peningkatan kualitas SDM didaerah juga akan menunjang percepatan pembangunan ekonomi daerah.
4.      Peran DPRD dalam pelaksanaan otonomi daerah sangat penting. DPRD berwewenang mengawasi berbagai proyek pembangunan dan keuangan daerah melalui APBN yang telah disetujui oleh DPRD.
Beberapa indikator ekonomi atas keberhasilan suatu daerah dalam melaksanakan otonomi daerah adalah:
1.      Terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah (PDRB) riel.
2.      Terjadinya kecenderungan peningkatan investasi asing (PMA) maupun domestik (PMDN).
3.      Kecenderungan semakin berkembang prospek bisnis/usaha di daerah.
4.      Adanya kecenderungan meningkatnya kreatifitas Pemda dan masyarakat.
Berdasarkan pengalaman empiris di berbagai negara didunia, kelemahan konsep desentralisasi adalah lemahnya kontrol terhadap kondisi makroekonomi. Beberapa indikator politik dan pelayanan publik yang dapat dipakai untuk menentukan daerah otonom agar dapat melaksanakan desentralisasi adalah:
1.      Daerah dapat melaksanakan fungsi-fungsinya dengan semakin efesien dan efektif.
2.      Aspirasi masyarakat selalu dapat diserao, diolah, dan ditindaklanjuti.
3.      Penerapan dan penegakkan hukum dapat diwujudkan.
4.      Pelayanan masyarakat sesuai standar.
5.      Ketentraman, ketertiban umum, perasaan aman, damai.
6.      Kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan, papan, sandang, pendidikan, kesehatan, keahlian dapat dijamin terpenuhinya.
Kendala-kendala
Beberapa kendala utama antara lain:
1.      Belum memadai dan belum mantapnya kelembagaan didaerah.
2.      Masih terbatasnya ketersediaan dana pembangunan.
3.      Masih terbatasnya ketesediaan sarana dan prasarana dasar di beberapa daerah.
4.      Tidak meratanya ketersediaan sumber daya alam dibeberapa daerah.
5.      Kendala investasi (modal).

11.2. PERKEMBANGAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA
11.2.1. Overview Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia
Rezim Orde Baru menggunakan paradigma kekuasaan yang “satu terpusat dan seragam’ dalam tiga wujud berikut. Pertama, sentralisasi kekuasaan pada pusat, Eksekutif, dan Presiden merupakan prakondisi bagi stabilitas politik, sedangkan stabilitas merupakan condition qua non bagi kesuksesan pembangunan nasional. Kedua, pembantukan budaya nasional oleh Negara sebagai pengganti budaya lokal (penyeragaman budaya) merupakan prakondisi bagi persatuan dan kesatuan bangsa. Dan ketiga, sentralisasi redistribusi kekayaan nasional akan menjamin pemerataan dan keadilan sosial.otonomi daerah yang seluas-luasnya dalam bidang politik, ekonomi dan budaya dipandang sebagai sumber disintegrasi nasional. Paradigma kekuasaan seperti ini telah menghasilkan sejumlah kesuksesan ekonomi tetapi juga korban sosial dan politik (social and political cost)dan korban kemanusiaan serta krisis multidimensional yang berkepanjangan sebelum dan setelah Presiden Soeharto turun dari singgasana kekuasaan.
11.2.2. Masalah Kelembagaan Daerah Akibat Pelaksanaan UU No.22/1999
Persoalan yang terkait dengan masalah atau urusan kelembagaan daerah kembali menjadi polemik yang seru ditengah diskursus mengenai urgensi revisi UU Otonomi Daerah No 22/1999. Beberapa point permasalahan kelembagaan yang terkait dengan ketentuan-ketentuan dalam UU No 22/1999 dan aktulisasinya dilapangan akan kita bahas. Pertama. Implikasi penggabungan Kantor Wilayah (Kanwil) dan Dinas Propinsi, serta kantor departemen (Kandep) kedalam kondisi ciri khas peningkatan jumlah pegawai daerah dan “pengangguran” dalam jajaran pejabat tinggi. Jadi, pemekaran struktur organisasi Pemda yang gemuk merupakan solusi.
Kedua hubungan kelembagaan antara eksekutif dan legislatif bersifat kemitraan sejajar, seperti “jauh bara dan api”, alias penuh ketimpangan. Dekonstruksi terhadap UU No 5/1974, dimana eksekutif memiliki kekuasaan yang powerfull, menciptakan pendulum kekuasaan daerah beralih secara total ke piha legislatif. Akibatnya, eksekutif menjadi sangat lemah.
Ketiga, menurut pasal 4 (2) UU No. 22/1999, daerah otonom nonhierarkis antara propinsi dengan kabupaten/kota, berimplikasi menyusutnya pengaruh propinsi terhadap kabupaten/kota.
Masalah Dinas Daerah
Beberapa elit politik lokal, sebagai “raja-raja kecil”, menikmati pesta-pora kemeriahan otonom daerah. Dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 8 Tahun 2003, yaitu PP tentang pedoman Organisasi Perangkat daerah, ketentuan pembatasan jumlah perangkat daerah harus dilaksanakan.
Ketentuan teng\tang pembatasan jumlah dinas daerah propinsi ini dinyatakan dalam UU No. 8/2003 pasal 5 ayat (5): “dinas Daerah kabupaten/kota sebanyak-bayaknya terdiri dari 10 (sepuluh) dinas. “lembaga teknis daerah propinsi sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 (dua) terdiri sebanyak-banyaknya 8 (delapan) dinas.
Masalah Hubungan Kelembagaan Eksekutif -legislatif
Ditelisik pada UU No. 22/1999 sebelum direvisi menjadi UU No.32/2004, pola hubungan antara eksekutif (pemerintah Daerah)  dan legislatif (DPRD) adalah kemitraan dan bersifat sejajar. Semangat dasar yang termuat dalam teks-teks peraturan merupakan idealitas (kesemestian) dan bukan mencerminkan gambaran kondisi yang sebenarnya.
Ditilik dari dinamika kelahiran UU No. 22/1999, “kemitraan dan kesejajaran” adalah posisi tawar DPRD dinaikkan, dimana kebijakan pemerintahan daerah di masa Orde Baru menjadikannya “anak bawang”. Dalam konstruksi UU No.5/1974 tentang Pokok-pokok Pemerintah Daerah, pendulum kekuasaan daerah di pihak eksekutif, yang tercermin dalam kekuasaan Kepala Daerah yang sangat powerfull.
Hubungan Propinsi Dengan Kabupaten/Kota
Persoalan hubungan antara propinsi dengan kabupaten/kota merupakan salah satu permasalahan krusial sepanjang pelaksaan otonomi daerah.dalam UU No.22 tahun 1999 sebelum direvisi kemudian menjadi UU No. 32 tahun 2004 terdapat tiga pola daerah otonom, yaitu propinsi, Kabupaten dan kota. Disamping sebagai daerah otonom, profinsi ditetapkan juga sebagai Daerah Administratif. Sebagai konsekuensinya, gubernur sebagai wakil pemerintah pusat ialah menjalankan pelimpahan kewenangan dan pemerintah pusat di daerah yang dilakukan melalui pelimpahan tugas-tugas dekonsentrasi. Setidaknya, terdapat tiga pertimbangan utama meletakkan gubernur sebagai wakil pusat, yakni: pertama, dalam rangka memelihara hubungan hubungan yang serasi antardaerah, serta antara pusat dan daerah dalam kerangka NKRI; kedua, untuk menyelenggaraan otonomi daerah yang bersifat lintas batas daerah kabupaten dan daerah kota, serta melaksanakan kewenangan otonomi daerah yang belum dapat dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan daerah kota; ketiga, untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan tertentu yang dilimpahkan dalam rangka pelaksanaan asas dekonsentrasi.
Pola dan bentuk hubungan antaran propinsi dengan kabupaten/kota yang diatur dalam UU No 22/1999, telah mengalami perubahan dari penerapan UU No. 5/1974. Hubungan antara Daerah otonom dengan pemerintah merupakan hubungan intra organisasi. Disamping itu, hubungan antar daerah otonom merupakan hubungan yang setara dan tidak bersifat hirarkis. Propinsi tidak membawahi Kabupaten/Kota, dan Gubernur bukanlah merupakan atasan Bupati/ Walikota.
Hubungan hierarki antara profinsi dan Kota sebagai daerah otonom telah menimbulkan berbagai persoalan. Dikalangan daerah, pemaknaan tidak adanya hubungan hierarki tersebut adalah “kebebasan secara mutlak” dan “investasi” propinsi.
Pengawas dan peran koordinatif yang dijalankan gubernur atas kabupaten/kota telah diinterpretasikan pihak daerah sebagai tindakan campur tangan yang bersifat membatasi kewenangannya. Dalam pandangan para gubernur, pemahaman daerah akan “kebebasan mutlak” tersebut, merupakan salah satu bentuk kesalahpahaman yang fatal atas penafsiran undang-undang.
11.2.3. Revisi UU No 22 Dan UU No 25/1999 Menjadi UU No 32 Dan UU No 33/2004
Otonomisasi tidak saja berarti melaksanakan demokrasi, tetapi juga mendorong berkembangnya prakarsa sendiri untuk mengambil keputusan mengenai kepentingan masyarakat setempat. Dengan berkembangnya prakarsa sendiri, demokrasi, yaitu pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat, tidak saja menentukan nasibnya sendiri, melainkan juga memperbaiki nasibnya sendiri (Moh. Hatta: 1957)
Ada tiga faktor yang mendorong mengapa undang-undang Nomor 22 tahun 22 tahun 1999  tentang pemerintah daerah direvisi menjadi undang-undang Nomor 32
11.3. EVALUASI OTONOMI DAERAH
11.3.1. Evaluasi Aspek Kewenangan
Dalam UU No 22/1999, penyelenggaraan fungsi pemerintahan tidak dilakukan secara desentralisasi penuh, tetapi atas asas dekonsentrasi maupun tugas pembantuan. Sebagai daerah otonom, propinsi memiliki kewenangan dalam menyelenggarakan fungsi pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten/kota. Di lain pihak, propinsi juga merupakan wilayah administratif sebagai konsekuensi dari penerapan dekonsentrasi, dimana propinsi sebagai wilayah administratif mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada gubernur selaku wakil pemerintah.
Pokok-pokok pikiran strategis yang mendasari lahirnya UU No 22 tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU No 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, belum mencerminkan pengaturan yang tegas mengenai kewenangan diantara tingkatan pemerintahan, yang terkait dengan desentralisasi, dekonsentrasi  maupun tugas pembantuan.
11.3.2. Dinamika Hubungan Antara Kepala Daerah Dengan DPRD
Hubungan antara Pemerintah Dearah dan DPRD
Dalam pasal 18 UUD Negara RI Tahun 1945 beserta penjelasan pasal tersebut, diamanatkan bahwa daerah-daerah yang bersifat otonom diadakan badan perwakilan daerah, karena didaerahpun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan. Badan perwakilan ini merupakan atribut demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan daerah
Dalam UU no 32 Tahun 2004, Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Dearah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (Pasal 1 ayat 2)
Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.(Pasal 1 ayat 6).
11.3.3. Aspek Pengawasan Dan Pembinaan
Pembinaan dalam konteks otonomi daerah adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah pusat untuk memfasilitasi proses penyelenggaraan otonomi. Fasilitas yang dimaksud disini adalah pemberdayaan daerah otonom melalui pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan dan supervisi. Beberapa isu penting dalam pelaksanaan otonomi daerah.
Salah satu permasalahan pengawasan dan pembinaan adalah pendefinisian peran Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD). Peran DPOD hanya sebatas memberikan pertimbangan kepada presiden tentang pembentukan, penghapusan, penggabungan dan pemekaran desa, perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta kemampuan daerah kabupaten/kota dalam melaksanakan otonomi daerah. Peran DPOD hanya menjalankan peran sebagai penasihat  Presiden saja.
Permasalahan yang perlu dijawab dalam bidang pengawasan dan pembinaan adalah:
1)      Bagaimana mekanisme pengawasan dan pembinaan dan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah?
2)      Bagaimana peran Departemen dalam Negeri (DDN) atau departemen lainnya melakukan pemantauan terhadap kinerja pemerintah daerah dalam menjalankan kewenangannya menyediakan pelayanan publik yang efektif dan efisien?
11.3.4. Birokrasi Era Otonomi Daerah
Keberhasilan suatu pemerintah amat ditentukan efektifitas suatu mesin birokrasi. Di Indonesia, di masa orde baru, konstruksi politik ditegakkan oleh tiga pilar utamanya yaitu: ABRI (TNI/Polri), birokrasi, dan Golkar yang pernah populer dengan istilah ABG.
Secara umum, ada dua perdebatan, yaitu posisi dan peran birokrasi. Pertama, Jose Hegel berpendapat birokrasi adalah jembatan antara negara(state) dan rakyat(society). Masyarakat yang dimaksud di sini terdiri dari para profesi dan pengusaha yang mewakili kepentingan khusus (Particular Interest), sedangkan negara mewakili kepentingan umum (the general interest). Di antara keduanya, birokrasi merupakan perantara yang memungkinkan pesan-pesan dan kepentingan khusus tersebut tersalurkan ke kepentingan umum (Thoha, 1992).
Kedua, konsepsi Marx yang berseberangan dengan konsepsi Hegel, Marx meletakkan posisi birokrasi tidak seperti itu karena negara, menurutnya, tidak mewakili kepentingan umum tetapi mewakili kepentingan khusus dan kelas dominan. Dalam perspektif ini, birokrasi sebenarnya merupakan perwujudan dari kelompok sosial yang amat khusus. Tepatnya, birokrasi merupakan suatu instrumen, dimana kelas yang dominan melaksanakan dominasinya atas kelas sosial lainnya. Hegel menghendaki kenetralan birokrasi, sedangkan Marx menyatakan dengan tegas bahwa birokrasi tidak netral dan memihak pada kelas yang dominan.
Di sisi lain, Weber sebagai pelopor teori birokrasi modern, mengilustrasikan birokrasi sebagai sesuatu yang tidak berdiri sendiri terkait dengan legitimasi dan otoritas. Jadi, menurut Weber, birokrasi adalah sustu badan administratif tentang pejabat yang di angkat dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1.      Para anggota staf secara pribadi bebas, hanya menjalankan tugas-tugas impersonal di jabatan mereka.
2.      Ada hirarki jabatan yang jelas.
3.      Fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara tegas.
4.      Para pejabat diangkat berdasarkan kontrak.
5.      Dipilih berdasarkan kualifikasi profesional, idealnya berdasarkan suatu diploma (ijazah) yang diperoleh melalui ujian.
6.      Memiliki gaji dan hak-hak pensiun. Gaji menurut kedudukan dalam hirarki.
7.      Pos jabatan adalah lapangan kerjanya sendiri atau lapangan kerja pokoknya.
8.      Terdapat suatu struktur karier, dan promosi dimungkinkan berdasarkan senioritas maupun keahlian (merit)serta menurut pertimbangan unggulan.
9.      SDM yang sesuai dengan posnya maupun sumber-sumber yang tersedia di pos tersebut.
10.  Tunduk pada sistem disipliner dan kontrol yang seragam.
11.3.5.Desentralisasi Fiskal Dan Pelayanan Publik
Tujuan program otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antardaerah, dan meningkatkan kualitas pelayanan publik agar lebih efisien dan responsif terhadap kebutuhan, potensi maupun karakteristik di daerah masing-masing yang dapat ditempuh melalui peningkatan hak dan tanggung jawab pemerintah daerah untuk mengelola rumah tangganya sendiri.
Salah satu pendorong program desentralisasi adalah pengalaman kebijakan pembangunan daerah Orde Baru yang sentralistik. Program otonomi daerah dijalankan untuk mendorong pembangunan daerahnya dan mengurangi kesenjangan antardaerah di nusantara. Evaluasi pelaksanaan otonomi daerah perlu dilakukan untuk mengatasi masalah kesenjangan  antardaerah dan menjadi stimulus bagi pembangunan ekonomi di daerah.
11.4. TANTANGAN DAN PELUANG OTONOMI DAERAH KE DEPAN
Dalam menanggapi persoalan disintegrasi bangsa, perubahan mendasar pada lingkungan internal dan eksternal perlu dipahami. Pola pikir yang kaku dan cenderung mensakralkan simbol tertentu mencerminkan resistensi terhadap tuntutan terhadap perubahan.
Tatkala tuntutan daerah semakin deras untuk memerdekan diri dari belenggu dominasi pemerintah pusat yang sangat sentralistik, para elit politik di jakarta menanggapinya tanpa menawarkan penyelesaian yang komprehensif dan tuntas. Ketua MPR saat itu, Prof. Amien Rias, menawarkan formula kerangka negara kesatuan. Ada pula yang menyodorkan konsep otonomi khusus, otonomi seluas-luasnya atau pun otonomi penuh. Kalangan tertentu lainnya memendang penerapan undang-undang No.22 tahun 1999 dan undang-undang No.25 tahun 1999, yang kemudian sekarang direvisi menjadi undang-undang No.32 tahun 2004 dan undang-undang No.33 tahun 2004, sudah cukup untuk meredam tuntutan aspirasi daerah.
Para pelontar gagasan tak menjelaskan secara jernih konsep-konsep yang ditawarkannya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pada tingkat rendah, otonomi mengacu pada individu sebagai perwujudan dari free will yang melekat pada diri-diri manusia sebagai salah satu anugerah paling berharga dari Sang Pencipta. Individu yang otonom inilah yang membentuk komunitas yang otonom dan akhirnya bangsa yang mandiri dan tunggal.
Individu yang otonom menjadi modal dasar bagi perwujudan otonomi daerah yang hakiki. Oleh karena itu, penguatan otonomi daerah harus membuka kesempatan yang sama dan seluas-luasnya bagi setiap pelaku dalam rambu-rambu yang disepakati bersama sebagai jaminan terselenggaranya social order. Pada prinsipnya tidak boleh ada pembatasan, khususnya dalam mobilitas faktor-faktor produksi. Otonomi memberikan peluang bagi persaingan sehat antardaerah, dengan jaring-jaring pengaman persyaratan minimum bagi daerah.
11.4.1. Menghadapi Persaingan Global
            Beberapa prasyarat dibutuhkan untuk menyiapkan daerah-daerah menjadi pelaku aktif di kancah pasar global:
a.       Terjaminnya pergerakan bebas dari seluruh faktor produksi, barang dan jasa di dalam wilayah indonesia, kecuali untuk kasus-kasus yang di landasi oleh argumen non ekonomi.
b.      Proses politik yang juga menjamin keotonomian masyarakat lokal dalam menentukan dan memperjuangkan aspirasi melalui partisipasi politik dalam proses pengambilan keputusan yang berdampak kepada publik.
c.       Tegaknya good governance, baik di pusat maupun di daerah, sehingga otonomi daerah tidak menciptakan bentuk-bentuk KKN baru.
d.      Keterbukaan daerah untuk bekerja sama dengan daerah-daerah lain tetangganya untuk mengoptimalkan pengelolaan sumber daya yang ada.
e.       Fleksibilitas sistem insentif.
f.       Peran pemerintah daerah lebih sebagai regulator yang bertujuan untuk melindungi kelompok minoritas dan lemah serta menjamin harmoni dengan alam sekitar, bukan regulator dalam pemerintah serba mengatur.
11.4.2. Otonomi Adalah Hakikat Federalisme
Otonomi yang hakiki hanya memiliki pijakan yang kuat dalam kerangka negara federal. Keotonomian daerah memungkinkan daerah mengeksploitasikan keunikannya semaksimal mungkin, sehingga keunggulan komparatif dan bahkan bisa menjadi keunggulan absolut muncul di dalam kancah persaingan global. Semakin mampu daerah tersebut mensejahterakan rakyatnya lewat pengaktualisasian potensi keunggulan komparatif atau pun keunggulan absolut yang dimilikinya. Tugas pemerintah dalam hal ini adalah pengembangan daerah yang belum mampu memenuhi prasyarat minimum untuk bisa berdiri sendiri. Dengan begitu, globalisasi akan memberi dampak dampak yang lebih merata dengan expansion of wealth, bukan konsentrasi kejayaan.
11.4.3. Federalisme Atau Disintegrasi
Federalisme identik dengan disintegrasi atau memecah belah persatuan Indonesia.
Pada umumnya, penolakan atas federalisme disebabkan oleh dua faktor: pertama, federlisme bertentangan dengan UUD 1945 dan semangat para pendiri negara, sehingga mengingkari jiwa proklamasi. Kedua, ketidaktahuan atau paling tidak kerancuan atas konsep federalisme dan beberapa istilah seperti ekonomi penuh atau otonomi yang seluas-luasnya.
Dengan demikian, UU 22/1999-UU 32/2004 dan UU 25/1999-UU33/2004, sudah kadaluarsa untuk menjawab aspirasi masyarakat daerah yang kian mengental untuk keluar dari cengkeraman pemerintah pusat yang selama ini sangat eksploitatif.
Indonesia sebagai negara besar dengan penduduk terbanyak ketiga didunia akan menentukan jati dirinya. Ketergantungan pada perdagangan luar negeri akan berkurang. Sebaliknya perdagangan antar negara kan kian marak. Keadaan seperti inilah yang akan terjadi apapun bentuk negaranya.

No comments:

Post a Comment