11.1. OTONOMI DAERAH
11.1.1. Konsep Otonomi
Daerah
Konsep
Menurut Rondonelli (1983), B.S. Smith (1985), dan Mills (1982)
Rondinelli
dalam CHEMA dan Rondonelli (1983) mendefinisikan desentralisasi sebagai
perpindahan kewenangan atau pembagian kekuasaan dalam perencanaan pemerintahan,
manajemen, dan pengambilan keputusan dari tingkat nasional ke tingkat daerah.
Desentralisasi dimaknai sebagai kepemilikan kekuasaan untuk menentukan nasib
sendiri dan mengelolanya untuk mencapai tujuan yang telah disepakati bersama.
Konsep desentralisasi dan kekuasaan yang dikemukakan oleh B.S. Smith (1985)
yakni sebagai pola hubungan kekuasaan diberbagai tingkat Pemerintahan. Dengan
kata lain salah satu makna yang melekat dalam otonomi daerah adalah pembagian
kekuasaan diantara berbagai level Pemerintahan.
Dalam
prekteknya, pemahaman desentralisasi sangat bervariasi. Warga didaerah pada
umumnya memahami prinsip-prinsip otonomi daerah dengan interpretasi yang
berbeda-beda.
Ragam
pemahaman konsep otonomi daerah sangat bergantung pada kemajuan implementasi
desentralisasi itu sendiri. Kemajuan penerapan konsep desentralisasi sangat
terkait dengan kemajuan pembangunan ekonomi dan pengalaman praktik-praktik
demokrasi dari negara tersebut. Kemajuan pembangunan ekonomi tidak lepas dari
sistem pemerintahan yang sangat sentralistis. Oleh karena itu, banyak
pemerintah Kabupaten/kota berharap menguasai Sumber Daya potensial yang
menyumbang pada pendapatan daerah.
Variasi
pemahaman otonomi daerah terkait dengan pemaknaan terhadap asal usul otonomi
daerah. Otonomi daerah adalah hak yang dimiliki dan melekat sejak berdirinya
Daerah tersebut. Dengan kata lain, otonomi daerah adalah pemberian pemerintah
daerah pusat melalui asas desentralisasi. Paham terakhir inilah yang sering
dikaitkan dengan konsep keutuhan Negara Republik Indonesia.
Desentralisasi
selalu dimaknai sebagai distribusi sumber daya dari pusat kepada daerah. Mills
dalam Lee and Mills (1982) menyatakan bahwa desentralisasi memiliki tujuan
politik yang penting, baik secara filosofi maupun ideologis. Alasannya adalah
bahwa partisipasi masyarakat dan kemandirian daerah serta kecermatan pejabat
publik dijamin dalam praktik pelayanan kepada masyarakatnya. Pada tingkat
pragmatis, desentralisasi dianggap sebagai cara untuk mengatasi berbagai
hambatan kelembagaan, fisik dan administratif dalam melaksanakan tugas-tugas
pembangunan.
Otonomi Daerah dan Konsep Desentralisasi
Konsep
desentralisasi di Indonesia tidak pernah merujuk pada perspektif desentralisasi
politik, tetapi lebih pada perspektif desentralisasi administrasi. Kebijakan
desentralisasi di Indonesia ditujukan untuk mempercepat proses domokratisasi di
tingkat lokal. Namun kenyataannya, kewenangan kedaerah sangat di batasi dan
pada saat yang sama pengendalian pemerintah pusat atas pemerintah daerah juga
dipertahankan sangat ketat.
Administrative
decentralization, mendefinisikan desentralisasi sebagai penyerahan wewenang
(bukan kekuasaan) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Tujuan utama
kebijakan desentralisasi di titikberatkan untuk menciptakan efisiensidan
efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Akibatnya,
aplikasi kebijakan desentralisasi di Indonesia selama ini telah terpisah dari
agenda demokratisasi.
Reformulasi Desentralisasi
Permasalahan
hubungan kekuasaan/daerah tidak dapat diselesaikan hanya dengan pendekatan
administrasi, tetapi juga dengan penyelesaian secara politik. Artikulasi
pelaksanaan otonomi daerah merupakan “Kewajiban” bukan “Hak”. Reformulasi
konsep desentralisasi itu sendiri dari administratif decentralization menuju
political decentralization. Pada tataran perundang-undangan, salah satu
implikasinya adalah peninjauan kembali pemberlakuan UU No. 22 dan 23 Tahun
1999. Dua produk perundang-undangan ini diwarnai ide dasar perspektif
desentralisasi administrasi. Lebih jauh, amandemen pasal 18 UUD 1945 juga perlu
dilakukan.
Pada
tingkat operasional, implikasi reformasi konsep desentralisasi alternatif kedua
tersebut tidak sampai pada peninjauan kembali UU No.22 dan 25 Tahun 1999, namun
lebih pada metode pelaksanaannya. Dimasa mendatang, peran utama dalam
menentukan jumlah maupun ruang lingkup wewenang harus sudah diserahkan kepada
Pemerintah Daerah.
Otonomi Daerah : Pembagian Kekuasaan Antara Pusat
dan Daerah
Pembagian
kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dilakukan berdasarkan
prinsip negara kesatuan dengan semangat federalisme. Otonomi daerah yang
diserahkan bersifat luas, nyata, dan bertanggung jawab. Luas, kewenangan residu
justru berada di pusat; nyata, kewenangan yang diselenggaraan itu menyangkut
kebutuhan untuk bertahan dan berkembang disuatu daerah; dan bertanggung jawab,
kewenangan yang diserahkan itu harus diselenggarakan dalam konteks tujuan
otomoni daerah. Kewenangan yang diserahkan kepada daerah otonom dalam rangka
desentralisasi, harus disertai penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan
prasarana, serta Sumber daya Manusia.
Kewenangan
yang ditangani Pemerintah Provinsi mencakup kewenangan desentralisasi dan
dekonsentrasi. Sementara itu, kewenangan yang diserahkan kepada Daerah Otonom
Provinsi mencakup:
a. Kewenangan
yang bersifat lintas kabupaten dan kota, seperti kewenangan dalam bidang
pekerjaan umum, perhubungan, kehutanan, dan perkebunan;
b. Kewenangan
pemerintahan lainnya, yaitu perencanaan dan pengendalian pembangunan regional
secara makro, pelatihan bidang alokasi sumber daya manusia potensial,
penelitian yang mencakup wilayah provinsi, dan lain-lain;
c. Kewenangan
kelautan, seperti eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan
laut, dan lain-lain.
d. Kewenangan
yang tidak atau belum dapat ditangani daerah kabupaten atau kota akan
diserahkan ke Pemerintahan Provinsi.
Kriteria
yang digunakan dalam menentukan jenis kewenangan yang diserahkan kepada daerah
otonom provinsi lebih didasarkan kepada kriteria efisiensi daripada kriteria
polotik. Jenis kewenangan yang dipandang lebih efisien akan diselenggarakan
pemerintahan provinsi, dengan pengecualian daerah istimewa dan otonomi khusus.
Desentralisasi
kekuasaan kepada daerah disusun berdasarkan pluralisme daerah otonom dan
pluralisme otonomi daerah. Perbedaan daerah otonom provinsi terletak pada
kekhususan atau keistimewaan daerah dan kemampuan menangani jenis kewenangan.
Dalam rangka Negara kesatuan, pemerintah pusat masih memiliki kewenangan
melakukan pengawasan terhadap daerah otonom.
11.1.2. Dasar Hukum
Pelaksanaan Otonomi Daerah
Amandemen
UUD 1945 menjadi acuan konstitusi dalam penetapan konsep dasar tentang
kebijakan otonomi kepada daerah-daerah. Hal itu terlihat jelas dalam aturan
mengenai Pemerintahan Daerah sebagaimana dalam Undang-undang berikut:
1. UU
No.1 Tahun 1945 - menitikberatkan pada
dekonsentrasi;
2. UU
No.22 Tahun 1948 - mulai menitikberatkan
pada desentralisasi, terdapat dualisme peran kepala daerah;
3. UU
No. 1 Tahun 1957 – masih bersifat dualisme;
4. Penetapan
Presiden No.6 Tahun 1959 – lebih menekankan pada dekonsentrasi;
5. UU
No.18 Tahun 1965 – menitikberatkan pada desentralisasi dengan memberikan
otonomi yang seluas-luasnya pada daerah, dekonsentrasi hanya sebagai pelengkap
saja;
6. UU
No.5 Tahun 1974 – pembangunan menjadi isu sentral dibanding politik;
7. UU
No.22 Tahun 1999 – pemerintah daerah sebagai titik sentral dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan;
8. UU
No.32 Tahun 2004 (revisi UU No.22 Tahun 1999);
9. UU
No.33 Tahun 2004 (revisi UU No.25 Tahun 1999).
11.1.3.
Asas-Asas Otonomi Daerah
1. Asas
Desentralisasi, adalah penyerahan wewenang Pemerintahan oleh Pemerintah kepada
daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2. Asas
Dekonsentrasi, adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada Gubernur
sebagai wakil Pemerintah dan/atau perangkat pusat di Daerah;
3. Tugas
pembantuan, adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan desa serta dari
daerah ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu;
4. Perimbangan
keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
11.1.4.
Ruang Lingkup Otonomi Daerah
Pembagian
Kewenangan
Secara
umum dibagi menjadi tiga:
1. Kewenangan
daerah, dapat digolongkan menjadi tiga:
a) Kewenangan
maksimum: seluruh bidang pemerintahan kecuali keewnangan dalam bidang politik
luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta
kewenangan bidang lain.
b) Kewenangan
minim um: pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian,
industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan,
koperasi, dan tenaga kerja.
c) Kewenangan
lainnya:
1) Mengelola
Sumber daya Nasional dan kelestarian lingkungan diwilayah lainnya;
2) Kewenanga
diwilayah laut: eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan lainnya;
3) Kepegawaian
daerah: kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, dan
lainnya.
2. Kewenangan
Provinsi, meliputi:
a) Kewenangan
dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas batas kabupaten dan kota, serta
kewenangan dalam pemerintahan tertentu lainnya;
b) Kewenangan
yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh daerah kabupaten atau daerah
kota;
c) Kewenangan
dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur selaku wakil
pemerintah;
d) Kewenangan
provinsi sebagai daerah otonom, secara lebih rinci diatur dalam PP No.25 Tahun
2000 yang dikenal dengan 20 kewenangan.
3. Kewenangan
Pemerintah (Pusat)
a) Kewenangan
umum: Politik dalam Negeri, Pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal;
b) Kewenangan
lainnya: menyangkut kebijakan perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan
nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, dan lainnya.
Legislatif
Beberapa
hal penting menyangkut Perda dalam UU No.22 Tahun 1999 sebelum direvisi menjadi
UU No. 32 Tahun 2004, antara lain:
1. Kepala
Daerah menetapkan Perda atas persetujuan DPRD dalam rangka penyelenggaraan
otonomi daerah dan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan
yang labih tinggi;
2. Peraturan
Daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan daerah lain,
dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
3. Peraturan
Daerah dapat memuat ketentuan tertentu tentang pembebanan biaya paksaan
penegakan hukum;
4. Peraturan
Daerah dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 bulan atau denda
sebanyak-banyaknya Rp. 5.000.000,00 dengan atau tidak merampas barang tertentu
untuk daerah kecuali jika ditentukan
lain dalam peraturan perundang-undangan.
Keuangan
Daerah
Masalah
yang sangat penting dalam kerangka otonomisasi daerah adalah menyangkut
pembagian atau perimbangan pusat atau daerah. Otonomi yang diberikan kepada
daerah meliputi empat aspek utama, yaitu: otonomi politik, otonomi hukum,
otonomi ekonomi, dan otonomi budaya. Pemerintah bertindak sebagai integrator
dan stabilizer.
11.1.5.
Implikasi Otonomi Daerah Terhadap Politik, Hukum, Dan Ekonomi
Jika
proses ekonomi berjalan dengan baik, maka diharapkan akan berimplikasi secara
positif baik dibidang politik, hukum, dan ekonomi, sosial budaya. Antisipasi
pelaksanaan otonomi daeerah memerlukan berbagai kesiapan, seperti:
1. Perencanaan
pembangunan daerah yang terarah, termasuk perencanaan dan penyusunan APBD.
2. Perlu
kesiapan SDM aparatur Pemda. Ini merupakan hal yang sangat mendesak karena
menjadi unsur penting atas keberhasilan otonomi daerah
3. Selain
kesiapan SDM aparatur birokrasi daerah, peningkatan kualitas SDM didaerah juga
akan menunjang percepatan pembangunan ekonomi daerah.
4. Peran
DPRD dalam pelaksanaan otonomi daerah sangat penting. DPRD berwewenang
mengawasi berbagai proyek pembangunan dan keuangan daerah melalui APBN yang
telah disetujui oleh DPRD.
Beberapa
indikator ekonomi atas keberhasilan suatu daerah dalam melaksanakan otonomi
daerah adalah:
1. Terjadi
peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah (PDRB) riel.
2. Terjadinya
kecenderungan peningkatan investasi asing (PMA) maupun domestik (PMDN).
3. Kecenderungan
semakin berkembang prospek bisnis/usaha di daerah.
4. Adanya
kecenderungan meningkatnya kreatifitas Pemda dan masyarakat.
Berdasarkan
pengalaman empiris di berbagai negara didunia, kelemahan konsep desentralisasi
adalah lemahnya kontrol terhadap kondisi makroekonomi. Beberapa indikator
politik dan pelayanan publik yang dapat dipakai untuk menentukan daerah otonom
agar dapat melaksanakan desentralisasi adalah:
1. Daerah
dapat melaksanakan fungsi-fungsinya dengan semakin efesien dan efektif.
2. Aspirasi
masyarakat selalu dapat diserao, diolah, dan ditindaklanjuti.
3. Penerapan
dan penegakkan hukum dapat diwujudkan.
4. Pelayanan
masyarakat sesuai standar.
5. Ketentraman,
ketertiban umum, perasaan aman, damai.
6. Kebutuhan
dasar masyarakat seperti pangan, papan, sandang, pendidikan, kesehatan,
keahlian dapat dijamin terpenuhinya.
Kendala-kendala
Beberapa
kendala utama antara lain:
1. Belum
memadai dan belum mantapnya kelembagaan didaerah.
2. Masih
terbatasnya ketersediaan dana pembangunan.
3. Masih
terbatasnya ketesediaan sarana dan prasarana dasar di beberapa daerah.
4. Tidak
meratanya ketersediaan sumber daya alam dibeberapa daerah.
5. Kendala
investasi (modal).
11.2.
PERKEMBANGAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA
11.2.1. Overview
Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia
Rezim
Orde Baru menggunakan paradigma kekuasaan yang “satu terpusat dan seragam’
dalam tiga wujud berikut. Pertama, sentralisasi kekuasaan pada pusat,
Eksekutif, dan Presiden merupakan prakondisi bagi stabilitas politik, sedangkan
stabilitas merupakan condition qua non bagi
kesuksesan pembangunan nasional. Kedua, pembantukan budaya nasional oleh Negara
sebagai pengganti budaya lokal (penyeragaman budaya) merupakan prakondisi bagi
persatuan dan kesatuan bangsa. Dan ketiga, sentralisasi redistribusi kekayaan nasional
akan menjamin pemerataan dan keadilan sosial.otonomi daerah yang seluas-luasnya
dalam bidang politik, ekonomi dan budaya dipandang sebagai sumber disintegrasi
nasional. Paradigma kekuasaan seperti ini telah menghasilkan sejumlah
kesuksesan ekonomi tetapi juga korban sosial dan politik (social and political cost)dan korban kemanusiaan serta krisis
multidimensional yang berkepanjangan sebelum dan setelah Presiden Soeharto
turun dari singgasana kekuasaan.
11.2.2. Masalah
Kelembagaan Daerah Akibat Pelaksanaan UU No.22/1999
Persoalan
yang terkait dengan masalah atau urusan kelembagaan daerah kembali menjadi
polemik yang seru ditengah diskursus mengenai urgensi revisi UU Otonomi Daerah
No 22/1999. Beberapa point permasalahan kelembagaan yang terkait dengan
ketentuan-ketentuan dalam UU No 22/1999 dan aktulisasinya dilapangan akan kita
bahas. Pertama. Implikasi penggabungan Kantor Wilayah (Kanwil) dan Dinas
Propinsi, serta kantor departemen (Kandep) kedalam kondisi ciri khas
peningkatan jumlah pegawai daerah dan “pengangguran” dalam jajaran pejabat
tinggi. Jadi, pemekaran struktur organisasi Pemda yang gemuk merupakan solusi.
Kedua
hubungan kelembagaan antara eksekutif dan legislatif bersifat kemitraan
sejajar, seperti “jauh bara dan api”, alias penuh ketimpangan. Dekonstruksi
terhadap UU No 5/1974, dimana eksekutif memiliki kekuasaan yang powerfull,
menciptakan pendulum kekuasaan daerah beralih secara total ke piha legislatif.
Akibatnya, eksekutif menjadi sangat lemah.
Ketiga,
menurut pasal 4 (2) UU No. 22/1999, daerah otonom nonhierarkis antara propinsi
dengan kabupaten/kota, berimplikasi menyusutnya pengaruh propinsi terhadap
kabupaten/kota.
Masalah
Dinas Daerah
Beberapa
elit politik lokal, sebagai “raja-raja kecil”, menikmati pesta-pora kemeriahan
otonom daerah. Dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 8 Tahun 2003,
yaitu PP tentang pedoman Organisasi Perangkat daerah, ketentuan pembatasan
jumlah perangkat daerah harus dilaksanakan.
Ketentuan
teng\tang pembatasan jumlah dinas daerah propinsi ini dinyatakan dalam UU No.
8/2003 pasal 5 ayat (5): “dinas Daerah kabupaten/kota sebanyak-bayaknya terdiri
dari 10 (sepuluh) dinas. “lembaga teknis daerah propinsi sebagaimana dimaksud
dalam ayat 2 (dua) terdiri sebanyak-banyaknya 8 (delapan) dinas.
Masalah
Hubungan Kelembagaan Eksekutif -legislatif
Ditelisik
pada UU No. 22/1999 sebelum direvisi menjadi UU No.32/2004, pola hubungan
antara eksekutif (pemerintah Daerah) dan
legislatif (DPRD) adalah kemitraan dan bersifat sejajar. Semangat dasar yang
termuat dalam teks-teks peraturan merupakan idealitas (kesemestian) dan bukan
mencerminkan gambaran kondisi yang sebenarnya.
Ditilik
dari dinamika kelahiran UU No. 22/1999, “kemitraan dan kesejajaran” adalah
posisi tawar DPRD dinaikkan, dimana kebijakan pemerintahan daerah di masa Orde
Baru menjadikannya “anak bawang”. Dalam konstruksi UU No.5/1974 tentang
Pokok-pokok Pemerintah Daerah, pendulum kekuasaan daerah di pihak eksekutif,
yang tercermin dalam kekuasaan Kepala Daerah yang sangat powerfull.
Hubungan
Propinsi Dengan Kabupaten/Kota
Persoalan
hubungan antara propinsi dengan kabupaten/kota merupakan salah satu
permasalahan krusial sepanjang pelaksaan otonomi daerah.dalam UU No.22 tahun
1999 sebelum direvisi kemudian menjadi UU No. 32 tahun 2004 terdapat tiga pola daerah
otonom, yaitu propinsi, Kabupaten dan kota. Disamping sebagai daerah otonom,
profinsi ditetapkan juga sebagai Daerah Administratif. Sebagai konsekuensinya,
gubernur sebagai wakil pemerintah pusat ialah menjalankan pelimpahan kewenangan
dan pemerintah pusat di daerah yang dilakukan melalui pelimpahan tugas-tugas
dekonsentrasi. Setidaknya, terdapat tiga pertimbangan utama meletakkan gubernur
sebagai wakil pusat, yakni: pertama, dalam rangka memelihara hubungan hubungan
yang serasi antardaerah, serta antara pusat dan daerah dalam kerangka NKRI;
kedua, untuk menyelenggaraan otonomi daerah yang bersifat lintas batas daerah
kabupaten dan daerah kota, serta melaksanakan kewenangan otonomi daerah yang
belum dapat dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan daerah kota; ketiga, untuk
melaksanakan tugas-tugas pemerintahan tertentu yang dilimpahkan dalam rangka
pelaksanaan asas dekonsentrasi.
Pola
dan bentuk hubungan antaran propinsi dengan kabupaten/kota yang diatur dalam UU
No 22/1999, telah mengalami perubahan dari penerapan UU No. 5/1974. Hubungan
antara Daerah otonom dengan pemerintah merupakan hubungan intra organisasi.
Disamping itu, hubungan antar daerah otonom merupakan hubungan yang setara dan
tidak bersifat hirarkis. Propinsi tidak membawahi Kabupaten/Kota, dan Gubernur
bukanlah merupakan atasan Bupati/ Walikota.
Hubungan
hierarki antara profinsi dan Kota sebagai daerah otonom telah menimbulkan
berbagai persoalan. Dikalangan daerah, pemaknaan tidak adanya hubungan hierarki
tersebut adalah “kebebasan secara mutlak” dan “investasi” propinsi.
Pengawas
dan peran koordinatif yang dijalankan gubernur atas kabupaten/kota telah
diinterpretasikan pihak daerah sebagai tindakan campur tangan yang bersifat
membatasi kewenangannya. Dalam pandangan para gubernur, pemahaman daerah akan
“kebebasan mutlak” tersebut, merupakan salah satu bentuk kesalahpahaman yang
fatal atas penafsiran undang-undang.
11.2.3.
Revisi UU No 22 Dan UU No 25/1999 Menjadi UU No 32 Dan UU No 33/2004
Otonomisasi
tidak saja berarti melaksanakan demokrasi, tetapi juga mendorong berkembangnya
prakarsa sendiri untuk mengambil keputusan mengenai kepentingan masyarakat
setempat. Dengan berkembangnya prakarsa sendiri, demokrasi, yaitu pemerintahan
dari, oleh, dan untuk rakyat, tidak saja menentukan nasibnya sendiri, melainkan
juga memperbaiki nasibnya sendiri (Moh. Hatta: 1957)
Ada
tiga faktor yang mendorong mengapa undang-undang Nomor 22 tahun 22 tahun
1999 tentang pemerintah daerah direvisi
menjadi undang-undang Nomor 32
11.3. EVALUASI
OTONOMI DAERAH
11.3.1.
Evaluasi Aspek Kewenangan
Dalam
UU No 22/1999, penyelenggaraan fungsi pemerintahan tidak dilakukan secara
desentralisasi penuh, tetapi atas asas dekonsentrasi maupun tugas pembantuan.
Sebagai daerah otonom, propinsi memiliki kewenangan dalam menyelenggarakan
fungsi pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten/kota. Di lain pihak,
propinsi juga merupakan wilayah administratif sebagai konsekuensi dari
penerapan dekonsentrasi, dimana propinsi sebagai wilayah administratif mencakup
kewenangan dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada gubernur selaku
wakil pemerintah.
Pokok-pokok
pikiran strategis yang mendasari lahirnya UU No 22 tahun 1999 yang kemudian
direvisi menjadi UU No 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, belum
mencerminkan pengaturan yang tegas mengenai kewenangan diantara tingkatan
pemerintahan, yang terkait dengan desentralisasi, dekonsentrasi maupun tugas pembantuan.
11.3.2.
Dinamika Hubungan Antara Kepala Daerah Dengan DPRD
Hubungan antara Pemerintah Dearah dan DPRD
Dalam
pasal 18 UUD Negara RI Tahun 1945 beserta penjelasan pasal tersebut,
diamanatkan bahwa daerah-daerah yang bersifat otonom diadakan badan perwakilan
daerah, karena didaerahpun pemerintahan akan bersendi atas dasar
permusyawaratan. Badan perwakilan ini merupakan atribut demokratisasi
penyelenggaraan pemerintahan daerah
Dalam
UU no 32 Tahun 2004, Pemerintahan Daerah adalah
penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Dearah dan DPRD menurut
asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam
sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (Pasal 1 ayat
2)
Daerah otonom, selanjutnya
disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas
wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.(Pasal 1 ayat 6).
11.3.3.
Aspek Pengawasan Dan Pembinaan
Pembinaan
dalam konteks otonomi daerah adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah pusat
untuk memfasilitasi proses penyelenggaraan otonomi. Fasilitas yang dimaksud
disini adalah pemberdayaan daerah otonom melalui pemberian pedoman, bimbingan,
pelatihan, arahan dan supervisi. Beberapa isu penting dalam pelaksanaan otonomi
daerah.
Salah
satu permasalahan pengawasan dan pembinaan adalah pendefinisian peran Dewan
Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD). Peran DPOD hanya sebatas memberikan
pertimbangan kepada presiden tentang pembentukan, penghapusan, penggabungan dan
pemekaran desa, perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta kemampuan daerah
kabupaten/kota dalam melaksanakan otonomi daerah. Peran DPOD hanya menjalankan
peran sebagai penasihat Presiden saja.
Permasalahan
yang perlu dijawab dalam bidang pengawasan dan pembinaan adalah:
1) Bagaimana
mekanisme pengawasan dan pembinaan dan pemerintah pusat terhadap pemerintah
daerah?
2) Bagaimana
peran Departemen dalam Negeri (DDN) atau departemen lainnya melakukan
pemantauan terhadap kinerja pemerintah daerah dalam menjalankan kewenangannya
menyediakan pelayanan publik yang efektif dan efisien?
11.3.4.
Birokrasi Era Otonomi Daerah
Keberhasilan
suatu pemerintah amat ditentukan efektifitas suatu mesin birokrasi. Di
Indonesia, di masa orde baru, konstruksi politik ditegakkan oleh tiga pilar
utamanya yaitu: ABRI (TNI/Polri), birokrasi, dan Golkar yang pernah populer
dengan istilah ABG.
Secara
umum, ada dua perdebatan, yaitu posisi dan peran birokrasi. Pertama, Jose Hegel
berpendapat birokrasi adalah jembatan antara negara(state) dan rakyat(society).
Masyarakat yang dimaksud di sini terdiri dari para profesi dan pengusaha yang
mewakili kepentingan khusus (Particular Interest), sedangkan negara mewakili
kepentingan umum (the general interest). Di antara keduanya, birokrasi
merupakan perantara yang memungkinkan pesan-pesan dan kepentingan khusus
tersebut tersalurkan ke kepentingan umum (Thoha, 1992).
Kedua,
konsepsi Marx yang berseberangan dengan konsepsi Hegel, Marx meletakkan posisi
birokrasi tidak seperti itu karena negara, menurutnya, tidak mewakili
kepentingan umum tetapi mewakili kepentingan khusus dan kelas dominan. Dalam
perspektif ini, birokrasi sebenarnya merupakan perwujudan dari kelompok sosial
yang amat khusus. Tepatnya, birokrasi merupakan suatu instrumen, dimana kelas
yang dominan melaksanakan dominasinya atas kelas sosial lainnya. Hegel
menghendaki kenetralan birokrasi, sedangkan Marx menyatakan dengan tegas bahwa
birokrasi tidak netral dan memihak pada kelas yang dominan.
Di
sisi lain, Weber sebagai pelopor teori birokrasi modern, mengilustrasikan
birokrasi sebagai sesuatu yang tidak berdiri sendiri terkait dengan legitimasi
dan otoritas. Jadi, menurut Weber, birokrasi adalah sustu badan administratif tentang
pejabat yang di angkat dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1. Para
anggota staf secara pribadi bebas, hanya menjalankan tugas-tugas impersonal di
jabatan mereka.
2. Ada
hirarki jabatan yang jelas.
3. Fungsi-fungsi
jabatan ditentukan secara tegas.
4. Para
pejabat diangkat berdasarkan kontrak.
5. Dipilih
berdasarkan kualifikasi profesional, idealnya berdasarkan suatu diploma
(ijazah) yang diperoleh melalui ujian.
6. Memiliki
gaji dan hak-hak pensiun. Gaji menurut kedudukan dalam hirarki.
7. Pos
jabatan adalah lapangan kerjanya sendiri atau lapangan kerja pokoknya.
8. Terdapat
suatu struktur karier, dan promosi dimungkinkan berdasarkan senioritas maupun
keahlian (merit)serta menurut pertimbangan unggulan.
9. SDM
yang sesuai dengan posnya maupun sumber-sumber yang tersedia di pos tersebut.
10. Tunduk
pada sistem disipliner dan kontrol yang seragam.
11.3.5.Desentralisasi
Fiskal Dan Pelayanan Publik
Tujuan
program otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan
daerah, mengurangi kesenjangan antardaerah, dan meningkatkan kualitas pelayanan
publik agar lebih efisien dan responsif terhadap kebutuhan, potensi maupun
karakteristik di daerah masing-masing yang dapat ditempuh melalui peningkatan
hak dan tanggung jawab pemerintah daerah untuk mengelola rumah tangganya
sendiri.
Salah
satu pendorong program desentralisasi adalah pengalaman kebijakan pembangunan
daerah Orde Baru yang sentralistik. Program otonomi daerah dijalankan untuk
mendorong pembangunan daerahnya dan mengurangi kesenjangan antardaerah di
nusantara. Evaluasi pelaksanaan otonomi daerah perlu dilakukan untuk mengatasi
masalah kesenjangan antardaerah dan
menjadi stimulus bagi pembangunan ekonomi di daerah.
11.4. TANTANGAN
DAN PELUANG OTONOMI DAERAH KE DEPAN
Dalam
menanggapi persoalan disintegrasi bangsa, perubahan mendasar pada lingkungan
internal dan eksternal perlu dipahami. Pola pikir yang kaku dan cenderung
mensakralkan simbol tertentu mencerminkan resistensi terhadap tuntutan terhadap
perubahan.
Tatkala
tuntutan daerah semakin deras untuk memerdekan diri dari belenggu dominasi
pemerintah pusat yang sangat sentralistik, para elit politik di jakarta
menanggapinya tanpa menawarkan penyelesaian yang komprehensif dan tuntas. Ketua
MPR saat itu, Prof. Amien Rias, menawarkan formula kerangka negara kesatuan.
Ada pula yang menyodorkan konsep otonomi khusus, otonomi seluas-luasnya atau
pun otonomi penuh. Kalangan tertentu lainnya memendang penerapan undang-undang
No.22 tahun 1999 dan undang-undang No.25 tahun 1999, yang kemudian sekarang
direvisi menjadi undang-undang No.32 tahun 2004 dan undang-undang No.33 tahun
2004, sudah cukup untuk meredam tuntutan aspirasi daerah.
Para
pelontar gagasan tak menjelaskan secara jernih konsep-konsep yang
ditawarkannya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, otonomi daerah adalah hak,
wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pada
tingkat rendah, otonomi mengacu pada individu sebagai perwujudan dari free will
yang melekat pada diri-diri manusia sebagai salah satu anugerah paling berharga
dari Sang Pencipta. Individu yang otonom inilah yang membentuk komunitas yang
otonom dan akhirnya bangsa yang mandiri dan tunggal.
Individu
yang otonom menjadi modal dasar bagi perwujudan otonomi daerah yang hakiki.
Oleh karena itu, penguatan otonomi daerah harus membuka kesempatan yang sama
dan seluas-luasnya bagi setiap pelaku dalam rambu-rambu yang disepakati bersama
sebagai jaminan terselenggaranya social order. Pada prinsipnya tidak boleh ada
pembatasan, khususnya dalam mobilitas faktor-faktor produksi. Otonomi
memberikan peluang bagi persaingan sehat antardaerah, dengan jaring-jaring
pengaman persyaratan minimum bagi daerah.
11.4.1.
Menghadapi Persaingan Global
Beberapa prasyarat dibutuhkan untuk
menyiapkan daerah-daerah menjadi pelaku aktif di kancah pasar global:
a. Terjaminnya
pergerakan bebas dari seluruh faktor produksi, barang dan jasa di dalam wilayah
indonesia, kecuali untuk kasus-kasus yang di landasi oleh argumen non ekonomi.
b. Proses
politik yang juga menjamin keotonomian masyarakat lokal dalam menentukan dan
memperjuangkan aspirasi melalui partisipasi politik dalam proses pengambilan
keputusan yang berdampak kepada publik.
c. Tegaknya
good governance, baik di pusat maupun di daerah, sehingga otonomi daerah tidak
menciptakan bentuk-bentuk KKN baru.
d. Keterbukaan
daerah untuk bekerja sama dengan daerah-daerah lain tetangganya untuk
mengoptimalkan pengelolaan sumber daya yang ada.
e. Fleksibilitas
sistem insentif.
f. Peran
pemerintah daerah lebih sebagai regulator yang bertujuan untuk melindungi
kelompok minoritas dan lemah serta menjamin harmoni dengan alam sekitar, bukan
regulator dalam pemerintah serba mengatur.
11.4.2.
Otonomi Adalah Hakikat Federalisme
Otonomi
yang hakiki hanya memiliki pijakan yang kuat dalam kerangka negara federal.
Keotonomian daerah memungkinkan daerah mengeksploitasikan keunikannya
semaksimal mungkin, sehingga keunggulan komparatif dan bahkan bisa menjadi
keunggulan absolut muncul di dalam kancah persaingan global. Semakin mampu
daerah tersebut mensejahterakan rakyatnya lewat pengaktualisasian potensi
keunggulan komparatif atau pun keunggulan absolut yang dimilikinya. Tugas
pemerintah dalam hal ini adalah pengembangan daerah yang belum mampu memenuhi
prasyarat minimum untuk bisa berdiri sendiri. Dengan begitu, globalisasi akan
memberi dampak dampak yang lebih merata dengan expansion of wealth, bukan
konsentrasi kejayaan.
11.4.3.
Federalisme Atau Disintegrasi
Federalisme
identik dengan disintegrasi atau memecah belah persatuan Indonesia.
Pada
umumnya, penolakan atas federalisme disebabkan oleh dua faktor: pertama,
federlisme bertentangan dengan UUD 1945 dan semangat para pendiri negara,
sehingga mengingkari jiwa proklamasi. Kedua, ketidaktahuan atau paling tidak
kerancuan atas konsep federalisme dan beberapa istilah seperti ekonomi penuh
atau otonomi yang seluas-luasnya.
Dengan
demikian, UU 22/1999-UU 32/2004 dan UU 25/1999-UU33/2004, sudah kadaluarsa
untuk menjawab aspirasi masyarakat daerah yang kian mengental untuk keluar dari
cengkeraman pemerintah pusat yang selama ini sangat eksploitatif.
Indonesia
sebagai negara besar dengan penduduk terbanyak ketiga didunia akan menentukan
jati dirinya. Ketergantungan pada perdagangan luar negeri akan berkurang.
Sebaliknya perdagangan antar negara kan kian marak. Keadaan seperti inilah yang
akan terjadi apapun bentuk negaranya.
No comments:
Post a Comment